Sabtu, 06 September 2008

PUISI-PUISI MAHMUD JAUHARI ALI

Puisi-Puisi Mahmud Jauhari Ali


Malam di Perantauan


Sunyi dari suara tawa dan perbincangan
Aku duduk sendiri tanpa dikau di sisiku
Memandang langit yang murung jauh di sana
Seakan hari menjadi hilang dimakan bulan

Hujan rintik membasahi hatiku yang sedang sendiri
Mendesah dalam ruang yang ingin kutingalkan
Melihat dikau dalam monitor yang sangat sempit

Kusematkan air semangat dalam-dalam di jiwaku
Menatap hari depan yang kutunggu ‘kan mendukungku

Entah kapan datangnya
Mungkin besok atau...ah! Mungkin lusa....
‘Kan kutunggu dan kutunggu
hingga penat di pikiranku hilang di telan angkasa


Rembulan yang Kutunggu


Malam ini bukan rembulanku
Dia adalah malam orang-orang di sini
Aku ingin malam ini segera melaluiku
bagai roda sepeda bututku yang melalui tanah gambut yang terbakar

Kutempuh tidur malam tanpa selimut
Dingin tentulah kurasakan
Kursi empuk menjadi saksi gelisahku

Suara azan mengangkasa dari kejauhan
Membangkitkan hatiku dari kesedihan
Suara itu adalah anugerah dari-Nya
Hatiku riang karenanya
Sungguh dahsyat pemberian-Nya

Siang bersinar tak kuhiraukan
Hingga sore datang menyapa
Senja ikut bersama kebahagianku
Angin malam berhembus
Menemaniku dalam perjalanan yang jauh bersama rembulanku


Mengharapkan Hari Esok

Duduk sendiri ditemani tumpukan dan susunan buku
Sepi di atas debu yang rindu teman
Entah mangapa mereka tetap di sini
Mungkin mereka terlupakan
atau...
Mereka sengaja meramaikan jiwaku yang sepi

Detak jantungku menggema di dalam pelukan tubuh
Jasadku menjaganya dari alam yang tak ramah
Tubuhku satu dalam kesatuan hidup

Besok adalah hari yang bahagia bagiku
Menantinya di atas debu yang setia

Sabar dan damba bercampur dalam penantian


Duduk di Belakang Teman

Suara kendara mendayu-dayu di lubang pendengaran
Sore yang ceria dengan rambut basah oleh air semangat
Terasa gatal kulit kepala karena kemarin tak ada sabun
Ah...hanya gatal kepala, bukan gatal hati

Duduk bargetar di atas bantalan empuk
Santai menikmati ayunan teman di depan tatapanku
Dengan baju kaos biru temaku memandang ke depan

Berlalu dari aspal ke aspal
Sambil bercakap kami asyik berkendara
Hingga waktu pengahibasan kami berpisah
Sampai detik ini kami pun belum berjumpa mata
Apalagi duduk di belakangnya dalam nuansa tanahku


Perjalananku Bersama Angin Malam


Malam menjadi temanku saban minggu
Dia menatapku dari segala arah
Kadang aku duduk di depan
Kadang aku duduk di tengah, bahkan di belakang
Dan
kembali di depan.

Terasa tentram bersama malam yang syahdu
Diiringi dentuman lagu dan musik yang riang

Hatiku tertawa menuju tanahku yang kunanti
Berhias jaket hitam aku duduk yang seakan berlari
Berlari dalam dekapan waktu

Sesekali kubicara dengan rekan seperjalanan
Canda dan tawa kadang menyeruak dan meramaikan suasana

Sempat aku tertidur di bantalan kaca
Walau keras, tapi menyehatkan mataku

Dari jauh kulihat tempat persinggahan
Kuteruskan dengan dua roda
Hingga kuketuk pintu penantian dan kurebahkan tubuhku di alas kebahagiaan

Tua dan Muda Saling Menatap

Tatkala suara kelahiran mengangkasa
Mimpi pecah menjadi sosok menggemaskan
Tangis, tawa, dan bahasa keluar dari gubuk permata

Langit pun tersenyum
Melihat pertumbuhan dalam kehidupan

Awan-awan menjadi penghias mereka
Sesaat mampir dan kadang lama
Kesenangan bisa juga penderitaan

Kata-kata terlontar ‘tuk keindahan
Keindahan sesama, tua muda
Tua menjadi intan
Kilaunya memberi warna kedewasaan para muda
Muda giat bekerja
‘tuk sematkan ketenangan bagi generasi lama yang mereka hormati


Layang-Layang yang Menghilang di Kotaku

Seutas tali mengikat pada bambu halus
Kekar bagai pondasi gedung pencakr langit
Bersatu dengan layar warna-warni
Melayang tinggi bak pesawat Boeng 737

Kini entah di mana layang-layang yang banyak itu
Kudapati sekarang hanya layang-layang dari pulau seberang
Mugkin mereka telah tiada ditelan zaman

Ketiadaan mereka telah digantikan dengan kecanggihan
Mengapa harus digantikan?
Biarkan mereka melayang dengan kendali yang matang
Jadikan mereka berpadu dengn kecanggihan


Berusaha Menyentuh Hatimu yang Lembut

Kata-kata tak dapat menembus pintu nuranimu
Dirimu bagai diselimuti perisai kemewahan

Ujung tombak kemiskinan pun menjadi tumpul
Mata keris sakti menjadi leleh

Hatimu keras dan beku
Tak dapat diusik
Walau dunia sekitar sedang bergumuruh

Melalui Jalan yang Berliku

Angin berhembus di celah jendela alam
Mendapatkan duri dan sutera

Terasa kesejukan yang memesona dalam jiwa
Kadang-kadang nafaskuku pun terasa sesak
Terhirup udara kotor yang menyiksa

Dingin dan panas silih berganti
Menjadi atap langkah kaki

Suara parau menambah hatiku yang galau
Bersama duri menjemput kebebasan
Pintu-pintu hijau harus dibuka
‘Tuk mendapatkan sejuknya kemerdekaan


Perjalanan Dahaga Berbuah Takwa

Ketika gelap masih betah menemani suara malam
Saat udara malam menyelimuti alam
Air masuk hingga di tenggorokan

Siang dengan sinar panas
Membuat dahaga terasa di tenggorokan

Muncul rasa yang dirasakan sesama
Sayang pun tumbuh dalam jiwa
Perbedaan hilang antara tinggi dan rendah

Kebahagian menyelimuti diri-diri beriman
Taat pun menggema dalam jiwa yang semula gersang
Menyayangi, menghormati dan lainnya bermunculan
Memenuhi ruang kehidupan semesta alam raya


Cahaya Malam

Sinarnya redup tatkala langit mendung
Semangat pun turut hanyut dengan keredupannya
Membawa duka dan kesedihan yang mendalam

Tatkala hujan telah reda
Cahayanya terang menyinari hamparan daratan
Mencuat semangat yang gagah perkasa
Mengahantam semua hambatan

Cahayanya semakin terang
Takkala optimis menjadi purnama
Menerangi setiap jiwa yang dilaluinya
‘Tuk dapat berbagi cahaya yang mencerahkan


Pudarnya Cinta

Cinta yang lama kadang berkurang
Kadang juga bertambah

Tatkala berkurang sering masalah melanda
Menerpa bertubi-tubi
bagai tetes air hujan dari atap sisa tadi malam

Kepudarannya membawa masalah dalam sepasang
Jangan biarkan menjadi sirna
walau memiliki yang lain

Cinta tetaplah cinta
Cinta bukanlah api yang harus diredupkan
atau air yang harus dikeringkan

Cinta bukanlah yang lain
Biarkan ia menjadi penyejuk dalam hidup kita


Kupu-Kupu Kuning

Sayap pada udara yang panas
Menghempaskan angin permata
Di celah-celah api yang siap membakar sekitar

Dari sudutnya berdiam
Melepaskan kungkungan purba
dari jiwa yang lamban
menjadi cerdas dalam dekapan agama dan ilmu

Terbang membawa manfaat
Mengembuskan kesejukan
dari teriknya panas kebodohan
dan
membawa air bagi jiwa yang gersang


Peminta-Peminta di Pinggir Jalan

Teriknya panas tidak membuat mereka menyingkir
Mereka bagai pejuang di siang hari
Kasian mereka

Wahai Tuan!
Seharusnya mereka dilarang mengemis
Mereka harus dipekerjakan
Jangan biarkan mengemis jadi pekerjaan

Anak-anak kecil ikut menjadi korban di jalan
Oh! Jangan!
Kasian anak-anak kecil wahai Saudaraku
Biarkan mereka menikmati dunia sendiri yang ceria


Masakan yang Lezat

Aroma lezat dari dapur kelembutan
Membuat lelaki menahan diri

Kadang beragam disajikan dengan gigih
Menciptakan kondisi yang harmonis
dan
Menggugah suasana jiwa yang tentram

Satu dalam cita rasa
Ditambah penyajian yang ramah
dan senyuman yang ikhlas
dari lubuk nurani sebagai usaha
‘Tuk...
Membangun istana sederhana yang mewah


Merajut Cita-Cita

Memiliki keinginan dalam hati
Satu, bahkan lebih daripada itu

Bersahaja menuju daratan
dari pelayaran yang rumit penuh ombak
berharap dapat berlabuh secepatnya

Berjalan, bahkan berlari dengan kelelahan
Sesekali merangkak dari atap-atap keropos

Nikmat terasa mecapai garis lomba
Menebar nikmat dengan senyum tanpa beban


Menelaah Kehidupan

Ia mucul, ada, dan pergi
Selama ada, nikmati ia dengan sungguh-sungguh
Jangan dikau sia-siakan keberadaannya!

Biarkan kita temani ia dengan ibadah
Ke atas dan ke sesama

Jalani dengan semangat yang menyala merah membakar senyap!
Jangan baiarkan bisikan hitam menjadi kesia-siaan!

Seimbangkan keduanya
‘Tuk meraih kebahagian yang menentramkan jiwa


Harga Barang dan Jasa

Kini dan sejak dulu menjadi sebuah identitas sosial
Naiknya membuat kita turun

Tak bisakah tidak naik?
Kenaikannya mencekik kehidupan
Membuat teriakan semakin nyaring
Bahkan,
Menjadikan bunuh diri sebagai penyelesaian

Mengapa?
Karena sebuah tuntutan permintaan yang semakin dahsyat

Ah! Aku tidak mau pusing
Mari kita kibarkan layar kehidupan yang gigih
Bagai ombak penuh semangat menerjang daratan

Sakit dan Berobat

Nikmat yang hilang sementara
Membuat begitu terasa nikmat saat kita memilikinya
Memiliki karena pemberian-Nya

Saat tubuh tidak berdaya
Baru teringat kesalahan yang kita perbuat
Berbuat karena kita tidak taat kepada-Nya

Walau sakit, semangatlah ‘tuk dapat bebas
dengan dua buah permata suci
usaha yang diperintahkan-Nya kepada kita
dan
doa yang juga diwajibkan-Nya bagi kita


Masalah

Kering kadang hinggap di dedaunan sanubari
Menetes bola bening dari bola penglihatan
Garis sahaja memulai singkirkan awan gelap

Menepis anggapan hitam para setan
Menebar racun pembunuh derita
Hapuskan bau, kekacauan, dan kehancuran!

Biarkan,
Biarkan mereka bicara tanpa dosa!
Kebohongan hanya membuat mereka kerdil

Bersatu dalam tali yang rekat
Direkatkan dengan persaudaraan
Hadapi dengan bijak bukan dengan bajak!
Kekerasan hanya membuat kita lelah
Jangan biarkan kelelahan tidak berarti!
Agar kita tidak menjadi golongan yang merugi



Zikir Hati


Gelisah membayangi denyut nadi seorang hamba
bagai awan hitam menutupi cerahnya bulan

Mengetuk pintu kesejukan

Duduk sendiri sambil menghembuskan kata-kata syahdu
Makin lama tidak terdengar lagi suara itu

Kali ini mata pun terpejam khusyuk
dengan hati yang bersuara dalam

Gelisah bagai awan hitam itu hilang
disapu oleh cahaya Ilahi


Kesejukan Cinta


Kata-kata itu bermula dari tatapan
Diam lantaran kata-katanya digantikan senyuman

Pengganti kata-kata itu mengiris kebencian dan dendam
dia adalah wujud rasa lembut dalam nurani

Kata-kata itu muncul lagi dengan ramah
lebih ramah daripada sebelumnya
yang membuat orang berhenti adu pukul
dan saling tikam

Saling mencintai membuat nyaman dalam jiwa
untuk meraih kebahagian di semesta raya
dan alam yang akan datang


Meraih Ketentraman Jiwa


Tatkala angin berhembus dengan kencang
Atap-atap dan jendela hati pun beterbangan

Pikiran melayang ke jurang hitam
Ucapan bagai api membakar tulang sumsum
Membuat dunia sekitar gersang
Hingga rumput pun kering kecoklatan

Terpercik air dalam kubangan kotor
Mengharapkan air suci yang mensucikan
Untuk membersihkan diri dari noda zaman
Segar…!

Khusyuk berdiri hingga salam
Duduk tafakur menerawang ke langit biru

Sadarlah bahwa sebenarnya sangat dekat
Kedekatan itu menentramkan jiwa yang tadinya gersang


Nikmatnya Pernikahan


Tanpa larangan berbuat
Tidak perlu menyelinap di kesunyian dan kegelapan

Cerah dan ramai dalam udara yang sopan
Memandang tajam tanpa takut azab

Ketika berbuah pun tidak perlu dijatuhkan,
Tetapi, dilahirkan dengan penuh cinta dan sayang

Sungguh membahagiakan
Melihat kemunculan dan pertumbuhannya
Tidak perlu dibuang atau dibunuh

Kemudian dididik hingga menjadi sosok berguna
Mengikatkannya dengan tali yang benar
Agar senantiasa berada di bawah ridha-Nya.


Langit Hatiku


Kadang-kadang mendung
Bahkan mendung sekali
Sesekali hujan turun membasahi daratan lembut

Lain waktu cerah dan cerah,
bahkan sangat cerah
diselingi canda tawa yang riang
membuat hati menjadi terang
seterang cahaya penglihatan

PUISI-PUISI ABDUL KARIM AMAR

Puisi-Puisi Abdul Karim Amar

Kapal akan Berangkat

(Buat Sahabatku Arsyad Indradi)

Arsyad,

usia kita tidak terasa merangkak tua

sudahkah engkau membuat surat wasiat

untuk generasi atau untuk anak isteri

sebelum berangkat menuju liang lahat

Arsyad,

peruntungan engkau lebih daripada nasibku

Engkau sudah punya anak, isteri dan apa lagi

berpangkat serta berpenghasilan tetap

sedang aku masih sendiri

termenung terkadang bingung

perkawinan terlalu mahal untukku

berjuta-juta rupiah menghantar jujuran

kemudian nikah ke penghulu baseran

Arsyad,

aku banyak kehilangan seseuatu

kekasih, cinta, serta puisi yang terbakar

digiring usia terasa pangar

aku renungi masa lalu di mana kita ini

dahulu di RRI di untaian mutiara

sekitar ilmu dan seni

kita ramai membaca puisi demi puisi

Arsyad,

sahabat-sahabat serta petinggi-petinggi kita

sudah menutup mata

Yustan Azidin, Hijaz Yamani, Bachtiar Sanderta

Andi Amrullah, Ismail Effendi

Ajamuddin Tifani entah siapa lagi

dan nanti ke raga kita

lalu apa yang kita bawa

hitungan tasybih, zikir atau shalawat

yang dianjurkan imamul haq

atau seperti Hamid Jabbar yang jatuh terkapar

membaca puisi lalu mati

sedang di sana di depan menghadang titian panjang

serambut dibelah tujuh

apakah kita akan jatuh

atau kita tidak membawa apa-apa

kecuali raga yang hampa

ah, hari sudah senja kata D. Zaudhidie

dia pun telah pergi

Arsyad,

entah bisikan apa lagi yang datang

menggumuli jendela kamar yang berdebu

seakan terdengar ketukan pintu

tetapi aku selalu ragu

mungkin satu isyarat buatku

atau pertanda yang lelap di pembaringan

jasadku akan ditandu ke pemandian

Arsyad,

aku yang lama terkapar di Puskesmas

cemas dan terhempas

menatap pasien demi pasien dengan harap

minta diobati dari penyakit ke penyakit

sedang aku pun merasa sakit

Arsyad,

di rumah tua bolong peninggalan bunda ini

untung masih ada Mahmud Jauhari Ali

yang sibuk menulis artikel dan puisi

menyemangatiku—katanya

Anjang kapan menulis puisi lagi

Arsyad,

mungkin ini puisiku yang sudah basi

tidak laku dijual atau dikonsumsi

apalagi untuk dinikmati

kecuali di antara kita kini

mari berjabat tangan bermaaf-maafan

sebelum diselimuti kain kafan

***

Surat dari Desa

Eva,

suratmu berwarna biru telah kuterima

tentang diriku masih seperti dulu-dulu jua

terkurung di kesunyian kampung

sering termenung mencari senandung

Eva,

di sini tidak ada cita-cita sanjana

tidak ada kereta kencana, musik pesta ria

atau cincin emas kawin pertama

Eva,

di sini hanya punya piala tua

cuma tercenung dalam renungan menerawang

yang dinadakan seruling sumbang dari pegunungan

hidup di desa berbimbang dengan kebahagian

namun kutempuh juga segala ancaman dan kenyataan

karena dara-dara di desa berbaju panjang

dan berwajah tenang

***

Kuserahkan Diriku Ini Kepada-Mu, Tuhanku

Tuhanku, dalam hening di malam sepi

kuceritakan akan kesenyapan hidupku ini

dalam pengembaraan di alam tak berujut

aku sering bermimpi menuju tiada arah

mencari selaput kasih di bumi beku

Tuhanku,

adakah lagi datang buatku cinta yang perkasa

di malam seribu bulan

atau terbang tak kembali

Tuhanku,

berkat kasih-Mu kembali aku mengerti

bahwa hakikat dunia ini hanya sementara waktu

hidup, cinta, dan kemudian mati

lalu masih pantaskah gerimis mataku sepanjang hari

serta merenungi langit ungu

Tuhanku,

betapa pun hampir putus asa dan diburu kematian

tiba-tiba aku sadar

bahwa Engkau dengan kasih melunakkan

jeraji-jeraji dukana diselaput nyawaku yang usang

akhirnya aku tersungkur gemetar

sedang di cakrawala bintang telah pergi

melewatkan malam kian menyepi

dan aku tanpa waham syak ragu lagi

***

Nyani Sunyi

wahai sukmaku yang sunyi

sendiri di antara ramai

deras deru tangismu menanti

biduk tak kunjung sampai

ah,

gairah cintaku yang sezarrah ini

belum jua tertambatkan

Tuhan

kicau murai apakah yang masih berlagu

kalau sukma ini sudah terkulai layu

atau engkau telah berlalu

deru datangkan dingin

aku sedang terbaring bisu

tiada kuasa untuk menjalin

***

Sebuah Kisah Buat Eva

Eva

pernahkah engkau menangis

tersenyum bersama mentari pagi

jawabnya kisah telah bersemi

Eva

pernahkah engkau menangis

muram dan dingin di muka cermin

terekam luka di kening

mencekam kisah di antara musim

angin kering

Ah Eva

bila angin darat telah bertiup ke benua

burung-burung elang kembali ke sarang

ke balik malam!

aku akan bercerita kepadamu

tentang sebuah kisah yang terekam dahulu

di mana aku telah kehilangan khazanah

terasa indah lebih dalam

sebelum kugenggam terbentur ia remuk patah

Eva

tiada sesuatu yang kuberikan untukmu

tiada sesuatu yang engkau berikan untukku

hidup di antara kita

tidak berarti apa-apa

hanya ada rahasia yang sempat kubaca

lalu kutulislah puisi ini untukmu

agar dapat dikenang-kenang sewaktu-waktu

Di Merah Fajar Esok Pagi

di merah fajar esok pagi

kusepuhkan harapan untuk hari tua

bersenandung merebut kedamaian dalam sunyi

pergi melangkah kebukitnya Dante, Pitrarca

walau jari-jari tangan tertancap pada duri

mengiangi ladang dan rawa

berteriak sayu seorang diri

aku borong kerja penuh jadi

kusiuli nafas-nafas duka

serta kuasah wajah puisi rindu

karena ia adalah nyawaku

Doa

Tuhanku

hidupkanlah hamba dalam kesederhanaan

penuh iman

matikan pula dalam keadaan demikian

Kemudian bangkitkan di dalam bilangan

orang-orang miskin

yang kepada-Mu mereka tak berpaling

amien